Jumat, 07 September 2012

Keberatan


Pendahuluan
Seperti kita ketahui, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesmentdi mana dengan sistem ini Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan melunasi sendiri pajak yang terutang. Perhitungan pajak yang terutang ini didasarkan pada ketentuan perpajakan yang berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Dirjen Pajak.
Di sisi lain, otoritas pajak, dalam hal ini DJP, diberikan tugas untuk melakukan pengujian dan pengawasan terhadap kepatuhan masyarakat Wajib Pajak terhadap ketentuan perpajakan. Dalam konteks inilah kita bisa memahami mengapa perlu dilakukan pemeriksaan pajak oleh DJP kepada sebagian Wajib Pajak.
Hasil pemeriksaan pada umumnya berbentuk surat ketetapan pajak (SKP) di mana SKP ini berfungsi untuk melakukan koreksi atas perhitungan yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau bisa juga untuk mengkonfirmasi kebenaran perhitungan oleh Wajib Pajak. Jenis-jenis SKP ini adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).
Nah, dalam proses penetapan pajak melalui pemeriksaan ini sering timbul sengketa pajak antara Wajib Pajak dan otoritas pajak. Sengketa ini bisa disebabkan oleh perbedaan penafsiran atas ketentuan perpajakan, perbedaan pemahaman atas ketentuan perpajakan, perbedaan sudut pandang dalam menilai suatu fakta, bisa juga karena ketidaksepakatan dalam hal proses pembuktian. Untuk menyelesaikan sengketa seperti ini, Undang-undang KUP memberikan ruang kepada Wajib Pajak untuk melakukan keberatan.
Dasar Hukum
  • Pasal 25, 26, dan 26A Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP)
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan
Ruang Lingkup
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, dengan menyampaikan surat keberatan, hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
  3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
  4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
  5. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Penyampaian Surat Keberatan
Surat keberatan disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan melalui;
  1. penyampaian secara langsung;
  2. pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. cara lain.
Termasuk dalam pengertian penyampaian surat keberatan secara langsung adalah penyampaian surat keberatan melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Penyampaian surat keberatan melalui cara lain meliputi:
  1. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Penyampaian surat keberatan secara langsung diberikan tanda penerimaan surat dan penyampaian surat keberatan dengan e-filling melalui ASP diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
Bukti pengiriman surat melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir atau tanda penerimaan surat secara langsung serta Bukti Penerimaan Elektronik menjadi bukti penerimaan surat keberatan.
Syarat Permohonan
Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  2. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
  3. 1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan Pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak.
  4. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
  5. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan wajib Pajak (force majeur);dan
  6. surat keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
Dalam hal surat keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak belum memenuhi persyaratan dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf f, Wajib Pajak dapat menyampaikan perbaikan surat keberatan dengan melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan terlampaui. Namun demikian, dalam hal wajib Pajak menyampaikan perbaikan surat keberatan dalam jangka waktu 3 bulan, maka tanggal penyampaian perbaikan surat keberatan tersebut merupakan tanggal surat keberatan diterima.
Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan. Atas surat keberatan seperti ini diberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa surat keberatannya tidak memenuhi persyaratan sehingga tidak dipertimbangkan.
Proses Keberatan
Permintaan Keterangan Oleh Wajib Pajak
Untuk keperluan pengajuan keberatan, Wajib Pajak dapat meminta kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memberi keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak atau penghitungan rugi. Direktur Jenderal Pajak wajib memberi keterangan yang diminta oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permintaan Wajib Pajak di terima.
Jangka waktu pemberian keterangan oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak tersebut tidak menunda jangka waktu pengajuan keberatan.
Surat Pemberitahuan Untuk Hadir
Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur Jenderal Pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir kepada Wajib Pajak guna memberi keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. Jika Wajib Pajak tidak hadir pada waktu yang ditentukan dalam Surat Pemberitahuan Untuk Hadir, proses keberatan tetap diselesaikan tanpa menunggu kehadiran Wajib Pajak.
Sebelum Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir, hal-hal yang dapat dilakukan dalam proses penyelesaian keberatan adalah sebagai berikut :
  1. Direktur Jenderal Pajak meminta keterangan, data, dan/atau informasi tambahan dari Wajib Pajak;
  2. Wajib Pajak menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis untuk melengkapi dan/atau memperjelas surat keberatan yang telah disampaikan baik atas kehendak Wajib Pajak maupun dalam rangka memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak;
  3. Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan.
Pencabutan Pengajuan Keberatan
Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sepanjang Surat Pemberitahuan Untuk Hadir belum disampaikan kepada Wajib Pajak.
Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan, Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP.
Data dan Informasi Yang Tidak Diberikan Pada Saat Pemeriksaan
Pembukuan, catatan, data, informasi atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan, kecuali pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain tersebut berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan.
Keputusan
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang diajukan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib Pajak.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Apabila Wajib Pajak masih belum menerima keputusan keberatan dan masih merasa keberatan juga, Wajib Pajak masih dapat menempuh upaya hukum berikutnya yaitu dengan mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak sesuai Pasal 27 Undang-undang KUP.
Ketentuan Teknis
Ketentuan yang lebih teknis tentang tatacara keberatan ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-49/PJ/2009 tanggal 7 September 2009 Tentang Tatacara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan.

dari : http://dudiwahyudi.com/pajak/ketentuan-umum-dan-tatacara-perpajakan/keberatan.html

Selasa, 28 Agustus 2012

Seri PBB-Pengajuan dan Penyelesaian Banding PBB



Pengertian
Wajib Pajak (WP) yang masih tidak sependapat dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatannya, dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak (PP).
Tata Cara Pengajuan Banding
  1. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memuat alasan yang jelas;
  2. Permohonan banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Keputusan atas Keberatan oleh WP;
  3. Permohonan banding harus dilampiri foto kopi Surat Keputusan atas Keberatan.
Bentuk Putusan Banding
Putusan banding dapat berupa :
  • menolak;
  • mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
  • menambah jumlah PBB yang harus dibayar;
  • tidak dapat diterima;
  • membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung, dan/atau;
  • membatalkan.
Imbalan Bunga
Apabila pengajuan permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran (bila ada)dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan dihitung sejak pembayaran dilakukan sampai dengan tanggal diterbitkannya (diucapkan di muka umum) Putusan untuk selama-lamanya 24 bulan.
Lain-lain
Atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan 

Keberatan, Banding, dan Peninjauan kembali


Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika Wajib Pajak tidak sependapat maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutnya apabila belum puas dengan keputusan keberatan tersebut maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
KEBERATAN
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
Atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima.

Dasar Hukum
  • Pasal 25, 26, dan 26A Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP)
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan

Syarat pengajuan keberatan adalah:
  1. Mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, dan Pemotongan dan Pemungutan oleh pihak ketiga.
  2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan menyebutkan alasanalasan yang jelas.
  3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak surat ketetapan pajak, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena di luar kekuasaannya.
  4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
  5. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
    Perlu diketahui bahwa apabila permohonan keberatan Wajib Pajak ditolak dan Wajib Pajak tidak mengajukan banding maka Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Ruang Lingkup
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, dengan menyampaikan surat keberatan, hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
  3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
  4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
  5. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Penyampaian Surat Keberatan
Surat keberatan disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan melalui;
  1. penyampaian secara langsung;
  2. pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. cara lain.
Termasuk dalam pengertian penyampaian surat keberatan secara langsung adalah penyampaian surat keberatan melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Penyampaian surat keberatan melalui cara lain meliputi:
  1. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat
Penyampaian surat keberatan secara langsung diberikan tanda penerimaan surat dan penyampaian surat keberatan dengan e-filling melalui ASP diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
Bukti pengiriman surat melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir atau tanda penerimaan surat secara langsung serta Bukti Penerimaan Elektronik menjadi bukti penerimaan surat keberatan.
Keputusan
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang diajukan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib Pajak.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Apabila Wajib Pajak masih belum menerima keputusan keberatan dan masih merasa keberatan juga, Wajib Pajak masih dapat menempuh upaya hukum berikutnya yaitu dengan mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak sesuai Pasal 27 Undang-undang KUP.
BANDING
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak.

Dasar Hukum :

1.

Pasal 1, 35, 36, 37, 38, 39, 44, 45 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.


Syarat pengajuan banding adalah:
  1. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan tersebut.
  2. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
  3. Banding diajukan disertai dengan alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal terima surat keputusan yang dibanding.
  4. Pada surat banding dilampirkan salinan keputusan yang dibanding.
Pengadilan Pajak harus menetapkan putusan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.




PENINJAUAN KEMBALI
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding, maka Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Pengajuan permohonan PK dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim Pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis baru atau sejak putusan banding dikirim.
Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan PK diterima.keberatan, banding, dan peninjauan kembali

Minggu, 17 Juni 2012

Tata Cara Pendaftaran NPWP dan Pengukuhan PKP


Tata Cara Pendaftaran NPWP dan Pengukuhan PKP

Setiap Warga Negara Indonesia yang mempunyai penghasilan diatas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Untuk dapat melihat informasi tersebut, Wajib Pajak dapat mengasksesnya melalui website Direktorat Jenderal Pajakhttp://www.pajak.go.id dengan mengklik Petunjuk “3M” Mendaftar.
Pendaftaran NPWP oleh Wajib Pajak dapat juga dilakukan secara elektronik yaitu melalui internet disitus Direktorat Jenderal Pajak dengan alamathttp://www.pajak.go.id dengan mengklik e-registration (pendaftaran Wajib Pajak melalui internet), dimana Wajib Pajak cukup memasukan data-data pribadi (KTP/SIM/Paspor) untuk dapat memperoleh NPWP. Selanjutnya dapat mengirimkan melalaui pos fotokopi data pribadi tersebut ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak.
Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian NPWP serta Pelaporan dan Pengukuhan PKP
Wajib Pajak (WP) mengisi formulir pendaftaran dan menyampaikan secara langsung atau melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) setempat dengan melampirkan:
  1. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan:
      Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau foto kopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing.
  2. Untuk WP Orang Pribadi Usahawan:
    • Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing;
    • Surat Keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa.
  3. Untuk WP Badan:
    • Fotokopi akte pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan penunjukkan dari kantor pusat bagi BUT;
    • Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing, dari salah seorang pengurus aktif;
    • Surat Keterangan tempat kegiatan usaha dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa.
  4. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/ Pemotong
    • Fotokopi KTP bendaharawan;
    • Fotokopi surat penunjukan sebagai bendaharawan.
  5. Untuk Joint Operation sebagai wajib pajak Pemotong/pemungut:
    • Fotokopi perjanjian kerja sama sebagai joint operation;
    • Fotokopi NPWP masing-masing anggota joint operation;
    • Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing, dari salah seorang pengurus joint operation.
  6. Wajib Pajak dengan status cabang, orang pribadi pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta harus melampirkan foto kopi surat keterangan terdaftar.
  7. Apabila permohonan ditandatangani orang lain harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus.
Pendafataran NPWP dan PKP Melalui Elektronik (Elektronic Registration)
Pendaftaran NPWP dan PKP oleh Wajib Pajak dapat juga dilakukan secara elektronik yaitu melalui internet di situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat www.pajak.go.id. Wajib Pajak cukup memasukan data-data pribadi (KTP/SIM/Paspor) untuk dapat memperoleh NPWP. Berikut langkah-langkah untuk mendapatkan NPWP melalui internet:
  1. Cari situs Direktorat Jenderal Pajak di Internet dengan alamat www.pajak.go.id;
  2. Selanjutnya anda memilih menu e-reg (electronic registration);
  3. Pilih menu “buat account baru” dan isilah kolom sesuai yang diminta ;
  4. Setelah itu anda akan masuk ke menu “Formulir Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi”. Isilah sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang anda miliki;
  5. Anda akan memperoleh Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sementara yang berlaku selama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran dilakukan. Cetak SKT sementara tersebut beserta Formulir Registrasi Wajib Pajak Orag Pribadi sebagai bukti anda sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak.
  6. Tanda tangani formulir registrasi, kemudian kirimkan/sampaikan langsung bersama SKT sementara serta persyaratan lainnya ke Kantor Pelayanan Pajak seperti yang tertera pada SKT sementara anda. Setelah itu anda akan menerima kartu NPWP dan SKT asli.
Wajib Pajak Pindah
Dalam hal WP pindah domisili atau pindah tempat kegiatan usaha, WP agar melaporkan diri ke KPP lama maupun KPP baru dengan ketentuan:
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan
      Pindah tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; adalah surat keterangan tempat tinggal baru atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang baru dari instansi yang berwenang (Lurah atau Kepala Desa)
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi non usaha
      Surat keterangan tempat tinggal baru dari lurah atau Kepala Desa, atau surat keterangan dari pimpinan instansi perusahaannya.
  3. Wajib Pajak Badan.
      Pindah tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha; adalah surat keterangan tempat kedudukan atau tempat kegiatan yang baru dari Lurah atau Kepala Desa.
Penghapusan NPWP dan Persyaratannya
  1. WP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, disyaratkan adanya fotokopi akte kematian atau laporan kematian dari instansi yang berwenang;
  2. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, disyaratkan adanya surat nikah/akte perkawinan dari catatan sipil;
  3. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak. Apabila sudah selesai dibagi, disyaratkan adanya keterangan tentang selesainya warisan tersebut dibagi oleh para ahli waris;
  4. WP Badan yang telah dibubarkan secara resmi, disyaratkan adanya akte pembubaran yang dikukuhkan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang;
  5. Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai BUT, disyaratkan adanya permohonan WP yang dilampiri dokumen yang mendukung bahwa BUT tersebut tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan sebagai WP;
  6. WP Orang Pribadi lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai WP.
Pencabutan Pengukuhan PKP
  1. PKP pindah alamat;
  2. WP Badan yang telah dibubarkan secara resmi;
  3. PKP lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai PKP.
Penghapusan NPWP dan Pencabutan Pengukuhan PKP dilakukan melalui proses pemeriksaan.

sicentol

Syarat Subjektif dan Objektif Wajib Pajak


  1. Persyaratan Subjektif dan/atau Objektif

Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih mendetil pada hal ini maka kita lihat di Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (untuk selanjutnya disebut UU KUP) tepatnya di penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU KUP. Berikut definisinya:

Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Ketentuan Subjek Pajak dalam Undang-undang PPh adalah sebagai berikut:
 
 
#Pasal 2
  1. Yang menjadi Subjek Pajak adalah :
    1. orang pribadi;
    2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
    3. badan;
    4. bentuk usaha tetap.
  2. Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
  3. Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah :
    1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
    2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
    3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
  4. Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah :
    1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
    2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Sedangkan ketentuan mengai objek pajak dapat saya sebutkan sebagai berikut:
#Pasal 4
  1. Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :
    1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
    2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
    3. laba usaha;
    4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
      1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
      2. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
      3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
      4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
    5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
    6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
    7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
    8. royalti;
    9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
    10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
    11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
    12. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
    13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
    14. premi asuransi;
    15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
    16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
  2. Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Jadi bila Subjek Pajak di atas memperoleh penghasilan sebagaimana yang saya sebutkan dalam masalah objek pajak dan mempunyai kewajiban pelaksanaan pemotongan dan pemungutan maka ini berarti subjek pajak tersebut telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.
Bila tidak punya penghasilan pun tapi ia masih mempunyai syarat subjektif tetap dikatakan masih memenuhi syarat subjektif. Dan yang dapat memutuskan tidak memenuhi syarat subjektif dan/atau objektif dalam permohonan pencabutan NPWP adalah pemeriksa atau auditor pajak setelah melakukan penelitian yang mendalam terhadap kasus tersebut.



dedaunan di ranting cemara
Riza Almanfaluthi

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More